“Kau jelek sekali! Kau lebih ganteng dengan rambutmu yang dulu: yang pendek dan rapi,” gombalan-gombalan yang menghantam telingaku.
Itulah beberapa ungkapan yang sering terdengar untuk jenis manusia berambut gondrong. Mulai dari dosen bawel, pacar rewel dan teman-teman ngeyel sering mengucapkan kata-kata yang senonoh tentang gondrong.
Tak tahu apa sebabnya dan jika ditanyakan mulai historis teks dan konteksnya sama sekali tidak ada jawaban yang pasti dan memuaskan. Atau setidaknya bisa mencerahkan pikiran. Sama sekali tidak Bung.
Jika saya ditanya oleh orang tentang “siapa yang menginspirasimu gondrong” jelas saya akan menjawab ” bukan Gunawan Muhammad, Taufik Ismail, dan Sapardi Djoko Damono DKK Bung.
Sabar dulu Bung! Setidaknya berikan saya waktu untuk menjelaskan kenapa saya memilih gaya rambut gondrong. Yang pertama jelas, rambut gondrong adalah bentuk perlawan.
Tunggu dulu, perlawan yang saya maksud bukan melawan dengan hajar menghajar dengan menggunakan genggaman tangan Bung. Tetapi perlawan secara simbolik terhadap sistem yang membuat orang-orang yang berambut gondrong itu seolah-oleh sebuah hal yang menjijikan dan nista.
Bung mungkin sudah tahu atau mungkin pura-pura tidak tahu tentang bagaimana tragedi yang dihadapi oleh orang berambut gondrong di masa Orba (Orde Baru). Kalau Bung tidak tahu, makanya baca! Jangan hanya jalan- jalan meluluk! Dan jangan pacaran memuluk! Setidaknya luangkan untuk membaca.
Bung tahu bagaimana aparatus negara yang mensuifing orang-orang berambut gondrong? Dan aparatus negara itu malah membuat Bakorperagon (Badan Koordinasi Pemberantasan Rambut Gondrong) yang menurut otak dungu saya teramat lucu. Mereka bilang rambut gondrong itu preman! Padahal tidak saudara! Rambut gondrong itu bentuk perlawan. Bung tahu itu?
Anehnya, PANGKOPKAMTIB (Panglima Komando Permulihan Keamanan dan Ketertiban) tertanggal 1 Oktober 1973 dalam sebuah perbincangan di TVRI, menyatakan bahwa rambut gondrong membuat pemuda menjadi Onverschillig alias acuh tak acuh. Sehingga pernyataan ini menjadi alasan pembenaran atas tindakan anti rambut gondrong.
Bung kejadian itu, dimulai era 1960-an, di Amerika Utara dan Eropa berkembang budaya tandingan atas dominasi yang dimotori oleh anak-anak muda. Di Amerika Serikat sendiri, gerakan hak sipil kulit berwarna, gerakan perempuan, gerakan orang-orang hispanik dan penduduk asli Indian, menjadi cara bagi generasi muda menentang budaya dominan dan tatanan sosial mapan yang dibangun setelah Perang Dunia II. Selain itu, munculnya perang dingin antara dua blok kekuatan usai Perang Dunia II: Amerika vs Uni Soviet yang menumbuhkan kejenuhan dan semangat damai anti perang di kalangan anak muda Benua Amerika dan Eropa.
Kemudian kaum Hippies muncul sebagai sebuah gagasan tentang cara hidup atau cara pandang alternatif atau berbeda dengan kehidupan yang dominan berlaku pada saat itu. Akibatnya kaum hippies menjadi mudah dikenali karena secara kasat mata dapat dilihat dari penampilannya yang eksentrik: rambut panjang, jenggot yang dibiarkan tak dicukur, pakaian longgar aneka warna, sandal, kalung, gelang dan perempuannya tidak memakai bra. Sangar toh?
Pada Akhirnya apartus negara mulai membaca kejadian seperti ini akan terjadi di Indonesia. Akhirnnya masuk ke Indonesia dengan gaya hidup bohemian, dan hal ini tidak diterima oleh pemerintah sebab dianggap mengganggu ketentraman umum.
Bahkan Menteri Dalam Negeri Amir Machmud dalam harian Suara Karya, 22 Januari 1972, mengatakan “Meskipun bagsa Indonesia terkenal ramah tamah, tetapi terhadap hippies tak perlu ramah dan pada waktunya nanti akan dilarang,” ungkapnya.
Tidak hanya aparatus negara yang menginginkan pelarangan atas rambut gondrong, namun media yang secara halusnya mencitrakan dalam beritanya tentang orang berambut gondrong sangatlah tidak bermoral dengan memberitakan kejelekan dari orang berambut gondrong.
Akibat dokmatisasi dari Orba ini, orang berambut gondrong sampai saat ini dianggap tidak baik, senonoh, amoral, tidak berpindidikan dan masih banyak lagi hujatan atas orang berambut gondrong.
Namun ketika melihat teman saya dan kebetulan teman-teman saya lebih dominan berambut gondrong bahkan lebih peduli kepada petani, rakyat miskin, teman dan alam. Naah beda dengan cowok-cowok hits yang pernah saya temui yang lebih senang mengurus IPK, jalan-jalan, pacar dan segala tetekbengek yang tidak penting.
Alasan yang kedua tentang “kenapa memilih rambut gondrong?” Yaa jelas Bung! Saya ingin melestarikan budaya leluhur saya yang dulu gondrong. Mulai dari bapak, kakek dan buyut-buyut saya adalah para gondrongisme sejati. Bukan hanya itu Bung! Nabi saja dulu gondrong! Seperti ungkapan kyai yang sampai sekarang saya hormati “Nabi dulu rambutnya sampai pundak,” ungkap beliau.
Naah sampai “pundak” itu gondrong Bung! Jika kau menyalahkan kata-kata itu! Silahkan kau debat sama Kyaiku biar kau dimaki-maki! Mampuslah kau!
Ooh iya Bung! Para wali songo juga banyak gondrong. Jika kau tak percaya! Makaknya BACA!
Jika pemikiran Bung masih seperti itu, berarti pikiranmu masih pemikiran lama dan perlu kiranya didenkontruksi oleh supaya lebih bugar. Bergini Bung! Dari zaman bahuela hingga zaman bahenol seperti zaman habib-habiban ini, orang berambut gondrong sama saja gayanya: lambutnya panjang.
Kalau dikatakan orang berambut gondrong itu tidak baik dan segala macam hinaan atasnya, itu tidaklah benar. Naah, coba saja kau lihat Si Ahok, Ganjar dan Sultan DIY sekarang, mereka itu tidak gondrong, rapi dan wangi. Namun mereka bajat toh? Mereka senang menindas rakyat kecil demi kepentingannya semata.
Saya harap Bung tak merasa dihina, karena itulah realitasnya. Orang rambut gondrong itu, yaa, baik juga kok ukhti dan akhit. Saya juga bukan bermaksud rasis atau apalah namanya dalam dunia perambutan, saya juga tidak membela orang yang berambut gondrong karena mereka sudah membela diri mereka sendiri kok dengan rambutnya dan saya juga tidak menghina dan memarjinalkan orang yang tidak gondrong. Sebab gondrong dan tidak gondrong itu pilihan Bung!
Masih kau menghina rambut gondrong Bung? Jika kau menghina hati-hati saja! Entar kau jatuh. Pasti sakit bokongmu. Itu saja sih